1. Paeng
2. Kunti
3. Nenes
4. Elis
5. Inem(warga)
6. Mbok Karsih
7. Bagong (warga)
Pada suatu hari disuatu tempat air
terjun yang terletak di desa Gajah Mungkur, terdapat 3 bidadari yang
sedang asik mandi. (bidadari – bidadari turun ke bumi )
Nenes : “waaaahh..............Beautiful.”
Elis : “eleh – eleh ...
airnya jernih dan sejuk sekali.”
Kunti : “iya – ya , banyak lagi airnya.”
Nenes
: “Ayo kita mandi!”
Elis : “Yuk ya, yuuuuuk.
Capcus cin” (melangkah menuju air dan melepaskan selendangnya)
Kunti
: “wah, segerrr banget!!
Terlihat seorang pria sedang
berjalan menuju tempat bidadari yang sedang mandi.
Paeng
: “ada apa’an itu, wah cantik – cantik
sekali bidadari – bidadari itu, ada selendang tu, aku ambil ah buat
kenang – kenangan” (berjalan perlahan-lahan, menggelengkan kepala dan
mengambil selendang)
Bidadari –
bidadari itu sedang asik menikmati kesegaran di air terjun Cagak
Pring,sehingga parabidadari tidak sadar bahwa ada yang mengintip, dan
mengambil salah satu selendang mereka.
Nenes
: “Udah dulu yuk mandinya, nanti kita
dicari bopo.” (menatap Kunti dan Elis)
Elis : “Oke.” (sambil
menuju ke tempat peletakkan selendang mereka)
Kunti
: “Oh tidak, kemana ini kak selendangku,
nanti kalau gag ketemu dimarahin bopo, dan aku ga bisa pulang, gimana
ini kak?” (menangis)
Nenes : “kakak juga ga lihat selendangmu Kunti, Elis apakah
kamu melihat selendang Kunti?”
Elis : “Tidak kak, ayok kita
pulang sekarang, kerna hari telah sore.”
Nenes
: “Iya bagaimana dengan Kunti?” (cemas)
Elis : “Kunti tidak bisa
pulangkekayangan sebelum dia menemukan selendangnya, jadi lebih baik
Kunti kita tinggal dulu, dari pada nanti kita kena marah sama bopo.”
Nenes
: “Iyajuga si, Kunti kak kembali
kekayangan dulu ya? Kamu hati – hati disini.” (sambil berpikir dan
melangkah untuk terbang kekayangan)
Elis
: “Dada
Kunti.” (terbang meninggalkan Kunti)
Kunti : “Kakak Jangan tinggalin Kunti” (menangis)
Setelah Kunti di tinggal oleh Nenes
dan Elis, Kunti hanya bisa menangis dan duduk terdiam di atas bebatuan.
Beberapa menit kemudian muncul
seorang pemuda menghampiri Kunti.
Paeng : “Hai cantik, mengapa engkau di sini sendirian
menangis?” (mendekati Kunti, menatapnya)
Kunti
: “Karena selendangku hilang.”
(menunduk)
Paeng : “Jangan
menangis cantik, karena kesedihanmu adalah kesedihanku.”
Kunti
: “Siapa si kamu?” (membentak)
Paeng
: “Siapa sikamu, hai hai siapa
kamu...”(berjoget dan menggoda Kunti)
Kunti : “Ditanya koq malah joget – joget.”
Paeng : “Perkenalkan saya
Paeng, anaknya mbok Karsih.” (Menjabat tangan Kunti)
Kunti : “oh, aku Kunti.”
Paeng : “Sekarang kamu mau
tinggal dimana neng?”
Kunti : “I don’t know.”
Paeng : “ooo... tinggal di
rumah akang ajh neng.”
Kunti : (Hanya diam)
Paeng : “halo? Ada orangnya
tidak?” (melambaikan tangan didepan muka Kunti)
Kunti : “Ada kang, ya sudah
terpaksa aku terima tawarannya.”
Paeng : “hahahahaha.....,
bilang ajh mau, gak usah pake embel – embel terpaksa dong neng.”
(tertawa)
Kunti : “Gak usah banyak omong, cepet!”
Paeng : “Ups, cepet apanya
neng? Wah bahaya si eneng, hahah iya, yuk mari.” (menggandeng tangan
Kunti)
Kunti : “Apa’an sih pegang – pegang, udah sana jalan.”
(melepaskan tangan Paeng)
Akhirnya
Kunti dan Paeng tiba di rumah Mbok Karsih ibu Paeng.
Paeng
: “Inilah istanaku.” (menunjukkan
rumahnya)
Kunti :
“Gak salah ini? Rumah kayak gini di bilang istana?”
Paeng
: “Ya, ini memang istanaku, mak – emak
anakmu datang membawa calon mantu.” (teriak – teriak memanggil mbok
Karsih)
Kunti :
“Ih... enak ajh akang kalu bicara.”
Paeng
: (Hanya tersenyum menatap Kunti)
Mbok Karsih
: “Ono opo to cah bagus? Iki sopo?”
Paeng
: “Niki calon mantune emak.:
(menunjukkan Kunti)
Mbok Karsih : “tenanne le? Iki calon isterimu? Weleh – weleh ayu
tenan.” (memandang Kunti)
Paeng : “Mosok to mbok?”
Kunti : “Bu...” (omongannya terputus)
Paeng
: “Inggih tenan mak, namine Kunti,
begini mak, Kunti mau tak ajak tinggal dirumah kita, karena Kunti tidak
punya rumah dan hanya hidup sebatang korek saja, eh salah mak maksud
Paeng sebatang kara, angsal nopo mboten mak?”
Mbok Karsih
: “He’eh le entok, rene nduk masuk,
terus istirahat, emak tak masak dulu.”
Kunti
: “Iya mak, makasih.”
Paeng
: (hanya tersenyum gembira)
Malam mulai tiba, terlihat Paeng
dan Kunti duduk bersama dan bersenda gurau.
Paeng
: “Malam yang indah, seindah hatiku saat
ini.”
Kunti :
“Emang kenapa dengan malam ini kangmas?”
Paeng
: Karena kau telah berada disisiku malam
ini dinda.” (tersenyum)
Kunti : “Ah masa si kangmas?” (tersipu malu)
Paeng
: “Mau bukti?”
Kunti
: “Iya tto.”
Paeng
: “Coba lihat bintang itu, bintang itu
memancarkan cahaya yang begitu terang, seperti terangnya hatiku malam
ini.” (melihat langit)
Kunti : “Alah kangmas bisa saja.” (tersipu malu)
Paeng
: “Kunti, maukah dirimu menjadi
pendamping hidupku?”
Kunti : “Mengapa engakau memilih aku untuk menjadi
pendampingmu?”
Paeng : “Karena
aku tlah jatuh cinta padamu.”
Kunti : “Bisa saja kangmas.” (tersenyum)
Paeng
: “Hahahaha..., bagaimana cantik mau
atau tidak?”
Kunti :
“Emm... gimana ya??? Ya deh aku mau.” (tersenyum)
Paeng
: “Benarkah dinda?” (kaget)
Kunti
: “Benar kangmas.”
Paeng
: “Sik asik sik asik kenal dirimu, sik
asik sik asik dengan dirimu.” (berjoget)
Kunti
: “Kangmas, kangmas.” (menggelengkan
kepala)
Paeng : ‘Ya
udah, sudah malam, saatnya tidur.”
Kunti : “Ya kangmas.” (berdiri)
Hari sudah larut malam mereka pun
tertidur pulas. Keesokan harinya Paeng bersiap – siap untuk pergi
memancing, beberapa menit kemudian warga berbondong - bondong
mendatangi rumah Mbok Karsih.
Inem(warga) : “Ini dia perempuan yang kita cari – cari, eh kamu
dasar perempuan gag tau malu.” (mendorong Kunti)
Mbok Karsih
: “Apa maksud perkataanmu Inem?”
Inem(warga) :
“Anak sampeyan itu ternyata kumpul kebo, sama
nih perempuan mak.”
Kunti : “Maaf bapak – bapak, ibu – ibu ini hanya salah paham
saja.”
Bagong(warga) :
“salah paham bagaimana? Ini sudah jelas dan ada buktinya. Ayo cepat
kita usir perempuan ini dari kampung kita!” (menarik Kunti)
Kunti
: “Auuu... Lepaskan saya... maaaaaak,
tolooong!”
Mbok Karsih : “Berhenti
– berhenti, sebentar saya akan menjelaskan dulu ini hanya salah paham
saja, lepaskan Kunti!”
Bagong(warga) :
“Baiklah kami akan dengarkan penjelasan sampeyan mak.” (melepaskan
tangan Kunti)
Mbok Karsih : “Begini,
mengapa saya memperbolehkan gadis ini tinggal disini, karena dia tidak
punya tempat tinggal dan hanya hidup sebatang kara saja dan sekaligus si
Kunti ini calon isterinya Paeng.”
Bagong(warga) : “Gimana ini?” (bertanya kepada warga lain)
Inem dan warga : “Ya sudah tidak apa – apa.”
Bagong(warga) : “Oke, kami memperbolehkan gadis ini tinggal disini,
tetapi ada syaratnya.”
Kunti : “Apa syaratnya?”
Bagong(warga) : ”Syaratnya di minggu ini kalian harus sudah
menikah.”
Tiba – tiba
Paeng yang mendengar kabar yang sedang terjadi dirumahnya, akhirnya
Paeng langsung pulang menuju rumah, dan Paeng mendengar percakapan warga
dengan Kunti dan Mbok Karsih.
Paeng : “Baiklah, saya dan Kunti akan menikah diminggu ini.”
(berjalan menuju kerumunan)
Bagong(warga) :
“Baik, saya pegang omonganmu Paeng, ayo bubar semuanya.”
Paeng
: “Hush hush hush sana pergi jauh!”
Dua hari kemudian Paeng dan Kunti
melangsungkan pernikahannya, tanpa ada pesta – pesta. Beberapa minggu
kemudian setelah pernikahan dilangsungkan, Kunti menanyakan keberadaan
selendangnya kepada Paeng.
Kunti
: “Kangmas apakah saya boleh menanyakan
sesuatu?”
Paeng : “Tentu boleh dinda, emang mau tanya apa?”
Kunti
: “Gini kangmas, sudah lama dinda
memendam pertanyaan ini, saat pertama kita bertemu aku sudah pernah
bilang padamu kalau diriku telah kehilangan selendang dan sekarang aku
ingin mencarinya lagi. Apakah kangmas tau dimana selendangku?”
Paeng
: “emmm... kangmas tidak tau dinda.”
(gugup)
Kunti : “Kenapa sepertinya kangmas ketakutan gitu?”
Paeng : “Iya..
kangmas takut, jika ditinggalkan dinda sendiri.”
Kunti :
“Oh, ya sudah kangmas aku masak dulu.” (tersenyum)
Paeng : “Iya
dinda, yang enak ya masaknya.”
Ketika Kunti akan memasak nasi, ia
bingung dimana berasnya, Kunti pun membuka – buka dunak yang ada di
dapur.
Kunti :
“Dimana si berasnya? Huft. Haa itu kan selendangku.” (sangat
terkejut dan menuju ke tempat Paeng)
Paeng : “Mengapa engkau menangis dinda?”
Kunti
: “Kau tega kangmas, mengapa engkau
mengambil selendangku, aku benci kamu kangmas!” (menuju ke depan rumah
meninggalkan Paeng)
Paeng : “Dinda maafkan kangmas, dindaaaa..., dinda jangan
pergi, kangmas sayang dan cinta dinda.” (menangis)
Kunti pun pergi meninggalkan Paeng,
karena dia begitu kecewa, akhirnya Kunti kembali kekayangan, tetapi
Kunti mencintai Paeng. Beberapa hari kemudian Kunti kembali lagi
dikehidupan Paeng.
Mbok Karsih : “Le, mbok yo mangan sek, ndak loro mengko le.”
(membujuk Paeng)
Paeng : “Aku
rak napsu mangan mak, aku geleme Kunti neng kene ngancani aku.”
(melamun)
Mbok Karsih : “Sabar
yo le.” (menepuk pundak Paeng)
Mbok Karsih pun lalu meninggalkan
Paeng sendirian dan Mbok Karsih pergi ke halaman rumah untuk menyapu
halaman rumah yang kotor. Pada saat menyapu tampak Kunti yang berada di
halaman rumah Mbok Karsih.
Mbok Karsih : “Kunti!” (kaget)
Kunti : “Iya mak.” (mencium tangan Mbok Karsih)
Mbok Karsih
: “Ya allah cah ayu, akhirnya kamu
kesini, kae lho Paeng orak gelem mangan, perkoro kuwe lungo, wes ayo
masuk.” (menggandeng Kunti)
Kunti : “Beneran mak?”
Mbok Karsih : “Le, tole iki sopo seng teko, reneo!”
Paeng
: “Ono opo tto mak, (melihat kearah
Kunti) akhirnya kamu kembali lagi kesini, kangmas janji akan membuat
pesta kedatangan dinda.”
Kunti : “Iya kangmas, dinda kembali karena dinda sayang dan
cinta kepada kengmas.”
Paeng : “Hore....”
Mbok Karsih : “(tersenyum)
Keesokkan harinya pesta pun
dirayakan dirumah Paeng, dan para undangan pun berdatangan. Akhirnya
Paeng dan Kunti hidup bahagia, pastinya Mbok Karsih juga ikut bahagia.